Ada hari-hari di mana alam semesta seolah berkonspirasi untuk menguji batas kesabaran kita. Hari di mana roti yang kita olesi selai selalu jatuh dengan sisi selai di bawah, atau saat kita terjebak macet total tepat ketika ada urusan penting. Bagi Karel, seorang karyawan swasta yang setiap hari berjuang di belantara Jakarta, hari itu dimulai dengan level apes yang jauh di atas rata-rata ia jatuh dari kereta Commuter Line yang sedang padat. Namun, kisah ini bukanlah tentang ratapan nasib sial. Sebaliknya, ini adalah sebuah kronik aneh tentang bagaimana sebuah insiden yang traumatis secara tak terduga justru menjadi jembatan menuju keberuntungan yang luar biasa. Kisah Karel adalah bukti nyata dari sebuah pepatah lama yang sering kita lupakan di tengah kesulitan. Perjalanannya dari memegangi lututnya yang lecet di peron stasiun hingga menatap layar ponselnya dengan tak percaya beberapa jam kemudian, adalah sebuah pelajaran unik. Pelajaran bahwa takdir memiliki selera humor yang aneh, dan terkadang, hari yang kita anggap paling sial sesungguhnya adalah hari di mana nasib baik sedang menunggu di tikungan, siap menyergap dengan cara yang paling tidak terduga.
Pagi itu dimulai seperti ratusan pagi lainnya bagi Karel. Berdesakan di dalam gerbong kereta yang penuh sesak, ia mencoba mencari posisi paling nyaman sambil memikirkan tumpukan pekerjaan yang menantinya di kantor. Udara terasa pengap, dan guncangan kereta menjadi irama yang monoton. Saat kereta melambat untuk berhenti di sebuah stasiun, sebuah dorongan kuat dari belakang membuatnya kehilangan keseimbangan. Pegangan tangannya terlepas, dan dalam sepersekian detik yang terasa seperti film lambat, tubuhnya terlempar keluar dari pintu yang terbuka, mendarat dengan keras di peron yang ramai. Seketika, dunia di sekelilingnya menjadi riuh. Beberapa orang berteriak kaget, yang lain segera menolongnya berdiri. Rasa sakit menjalar di siku dan lututnya, celana kerjanya sobek, dan yang lebih parah, rasa malu yang luar biasa membakar wajahnya. Meskipun lukanya tidak parah, semangatnya hancur lebur. Dengan langkah terpincang-pincang dan dibantu beberapa penumpang baik hati, ia memutuskan untuk melupakan kantor hari itu. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri dan mengobati lukanya, baik luka fisik maupun luka di harga dirinya.
Setibanya di kamar kosnya yang sederhana, Karel membersihkan luka-lukanya dengan antiseptik. Setiap usapan kapas terasa perih, tetapi tidak seperih ingatan tentang tatapan orang-orang di stasiun. Ia merebahkan diri di kasur, membiarkan pikirannya berkelana. Rasa kesal, marah, dan pertanyaan kenapa harus aku? terus berputar di kepalanya. Untuk menghentikan rentetan pikiran negatif itu, ia meraih ponselnya, mencari distraksi apa pun yang bisa mengalihkan fokusnya. Matanya tertuju pada ikon game Mahjong Ways 2, sebuah permainan yang biasa ia mainkan untuk membunuh waktu saat perjalanan pulang kerja sebuah ironi yang getir. Tanpa pikir panjang, ia membukanya. Masih ada sedikit sisa saldo di akunnya. Tujuannya bukan untuk menang, melainkan hanya untuk menenggelamkan diri dalam warna-warni ubin mahjong dan suara-suara permainan yang repetitif. Ia mulai menekan tombol putar secara mekanis, pikirannya masih separuh melayang pada insiden di kereta.
Sambil meringis menahan sakit saat mengubah posisi duduknya, Karel terus memutar gulungan digital itu tanpa minat. Saldonya perlahan menurun. Ia sudah hampir menutup aplikasi itu saat tiba-tiba, tiga simbol Scatter mendarat di layarnya. Oh, dapat putaran gratis, gumamnya datar. Setidaknya ada sedikit hiburan tambahan sebelum saldonya habis. Ia membiarkan putaran otomatis berjalan sambil memejamkan mata. Namun, suara dari ponselnya mulai berubah menjadi lebih intens. Jingle kemenangan terdengar berkali-kali, disusul dengan suara pecahan ubin emas yang menandakan kombinasi besar. Karel membuka matanya. Ia melihat angka pengganda di atas layar terus menanjak, dan saldo kemenangannya melesat dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Jantungnya yang tadi lesu kini mulai berpacu kencang. Ia duduk tegak, melupakan sejenak rasa perih di lututnya. Ketika sepuluh putaran gratis itu berakhir, angka yang tertera di layar membuatnya menahan napas. Ia baru saja memenangkan Jackpot besar, sebuah Jepe yang jumlahnya setara dengan gajinya selama lebih dari setahun.
Karel menatap layar ponselnya selama beberapa menit, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Kemudian, sebuah tawa pecah darinya bukan tawa kemenangan, melainkan tawa karena absurditas situasi yang ia alami. Pagi hari ia jatuh dari kereta, merasa seperti orang paling sial di dunia. Siang harinya, ia menjadi jutawan mendadak. Ia mulai menghubungkan titik-titik peristiwa hari itu. Jika ia tidak jatuh dari kereta, ia pasti sedang berada di kantor, mungkin sedang dimarahi bosnya. Ia tidak akan berada di kamar kosnya pada jam itu, tidak akan membuka ponselnya karena bosan, dan tidak akan menekan tombol putar pada detik keberuntungan itu. Insiden yang ia anggap sebagai puncak kesialan ternyata adalah pemicu langsung dari keberuntungan terbesarnya. Uang itu terasa seperti kompensasi dari alam semesta. Dengan bijak, ia merencanakan penggunaan uangnya: pertama, melakukan rontgen dan pemeriksaan medis lengkap untuk memastikan tidak ada cedera dalam. Sisanya akan ia gunakan untuk melunasi cicilan dan sebagai uang muka untuk membeli sebuah rumah kecil, impiannya sejak lama.
Kisah Karel adalah sebuah anomali, sebuah anomali yang indah. Perjalanannya dalam satu hari dari titik terendah ke titik tertinggi adalah pengingat kuat bahwa hidup ini penuh dengan misteri. Pesan utamanya begitu jelas: terkadang hari apes belum tentu buruk. Sebuah peristiwa negatif bisa saja menjadi katalisator yang tak terlihat untuk sesuatu yang positif, membuka pintu yang tidak pernah kita tahu keberadaannya. Meskipun keberuntungan ekstrem seperti yang dialami Karel adalah satu dari sejuta, pelajarannya bersifat universal. Di saat kita merasa nasib sedang tidak berpihak, ada baiknya untuk tetap melangkah, karena kita tidak pernah tahu jika di tikungan berikutnya, sebuah Jepe dalam bentuk apa pun sedang menanti.